Kami yang berbahagia

Buat temen-temen yang gak sempat dateng ke pesta perkawinan jeng Sofie, nich ada beberapa momen yang diabadikan dalam bentuk foto



Konflik Perlu Agar Hubungan Lebih Harmonis

Bertengkar dengan pasangan adalah wajar. Yang penting adalah bagaimana mengakhirinya dengan baik.

Konflik atau salah paham dalam hubungan suami-istri adalah hal lumrah dan biasa terjadi. Bahkan, kata orang, konflik yang sehat justru akan semakin menyuburkan cinta di antara pasangan, sehingga rumah tangga pun bisa harmonis. Nah, bagaimana cara membuat konflik atau salah paham yang terjadi bisa diatasi dengan baik, dan hubungan bisa tetap harmonis?

1. TETAP PERCAYA
Yang perlu selalu diingat adalah bahwa tak selamanya Anda dan pasangan akan selalu berada dalam manisnya cinta, seperti saat-sat pacaran dulu. Persoalan yang dihadapi sudah sangat berbeda, dan benturan-benturan, kecil maupun besar, mau tak mau pasti akan terjadi juga. Nah, dalam kondisi seperti ini, yang harus Anda lakukan adalah jangan sekali-kali meninggalkan kepercayaan Anda pada pasangan.

Ingatlah bagaimana ia selalu mencintai Anda, ingatlah bagaimana ia selalu berada di sisi Anda di saat-saat suka maupun duka. Ia selalu mengerti siapa Anda sesungguhnya. Tetap percayalah bahwa Anda pun selalu mencintainya, selalu mengerti perasaan-perasaannya, dan selalu berada di setiap suasana hatinya. Dengan kesadaran seperti ini, rasa cinta Anda berdua tak bakal luntur, apalagi jika yang muncul hanya persoalan kecil. Meski dalam situasi sesulit apapun, misalnya karena salah paham, Anda akan tetap terikat pada cinta Anda. Bisa jadi, cintalah yang selalu membuka hati ketika mendung menyelimuti hati Anda.

2. BICARA DARI HATI KE HATI
Tak mudah untuk cepat-cepat menghilangkan kesalahpahaman atau emosi yang tengah meluap. Apalagi jika Anda berdua adalah pasangan muda. Sadarilah bahwa pasangan sedang dilingkupi oleh kemarahan. Untuk itu, Anda harus pandai menjaga emosi agar tidak ikut hanyut dalam kemarahan yang sama. Anda bahkan harus bisa menanggapi kekesalan hati pasangan dengan sikap yang tenang. Ketenangan yang Anda tunjukkan akan mampu menggiring pasangan untuk mau diajak bicara.

Pahamilah pikiran dan perasaan pasangan yang sedang emosi. Ajak ia mengungkapkan unek-uneknya, termasuk kekesalannya pada Anda. Tanyakan apa yang membuatnya kesal. Ajak ia untuk menjelaskan kesalahan-kesalahan yang secara tidak sadar Anda lakukan. Jangan biarkan pasangan memendam persoalan. Bisa-bisa, persoalan akan semakin membesar dan menjadi bom waktu bagi keharmonisan rumah tangga Anda. Bicaralah dari hati ke hati, niscaya tembok tebal egoisme atau kebekuan hati akibat emosi, kecewa, atau perasaan tak enak bisa cair. Anda berdua pun akan kembali menikmati indahnya cinta.

3. CURHAT YANG BENAR
Curhat memang perlu. Tapi hati-hati, kalau dilakukan tidak pada waktu dan tempat yang benar, bisa-bisa malah menjadi bumerang. Bisa-bisa Anda malah makin terpojokkan dan dibawa ke situasi yang lebih sulit. Jadi, jika kesalahpahaman atau kemarahan tengah menyelimuti Anda dan pasangan, berusahalah untuk tetap menjaga diri. Usahakan untuk tidak curhat ke tempat atau orang yang salah. Misalnya, jangan curhat kepada orang yang tidak bisa menyimpan rahasia dan cenderung mengumbar cerita ke siapa saja.

Akan lebih baik bila Anda curhat ke orang-orang yang dewasa dalam berpikir dan bertindak, misalnya sahabat karib atau orang tua Anda. Dengan demikian, apapun masalah Anda, tidak akan bocor kemana-mana.
Yang terbaik sebenarnya adalah tidak usah curhat kemana-mana. Curhatlah hanya dengan pasangan. Ungkapkan bahwa Anda kecewa karena pasangan telah melakukan kesalahan. Tentu, katakan dengan bahasa yang bijak tanpa kemarahan. Katakan bahwa pikiran dan hati Anda benar-benar terganggu dengan kesalahpahaman itu. Meski sulit, cara ini hasilnya akan jauh lebih baik. Anda dan pasangan akan semakin mesra ketika sama-sama berhasil menyelesaikan persoalan bersama-sama.

4. CARI TEMPAT YANG ENAK
Apa yang Anda rasakan saat muncul "masalah" dengan pasangan Anda? Tentu, suasana jadi tegang, canggung, dan muncul rasa tak nyaman. Rumah pun serasa panas dan tak lagi nyaman. Nah, ada baiknya Anda ajak pasangan ke tempat atau suasana baru, terutama yang bisa menimbulkan suasana relaks. Anda bisa misalnya pergi ke tempat-tempat berhawa sejuk yang bisa membawa ketenangan. Pegunungan, pantai, atau restoran langganan yang memang nyaman bisa menjadi pilihan. Persoalan-persoalan rumit yang ada pun akan lebih mudah diencerkan jika suasananya nyaman. Yang Anda berdua butuhkan adalah kemauan untuk menyelesaikan persoalan.

5. INGATLAH ANAK-ANAK
Anak-anak seringkali bisa mencairkan suasana beku yang muncul akibat perselisihan suami-istri. Anak-anak juga akan mengingatkan Anda bagaimana perjalanan cinta Anda berdua hingga membuahkan anugerah istimewa tersebut. Jadi, jangan lupakan mereka saat Anda sedang bercekcok dengan pasangan. Jadikan mereka inspirasi untuk memecahkan kebekuan. Kepolosan dan ketulusan hati si kecil juga dapat Anda jadikan pegangan untuk menciptakan suasana yang penuh suka-cita.

6. KENANG HAL-HAL LUCU
Humor atau kelucuan sudah terbukti ampuh untuk mengubah kebekuan suasana. Nah, Anda pun bisa menggunakannya untuk memecahkan masalah yang muncul dengan pasangan Anda. Di saat pasangan sedang merasa tak nyaman pada Anda, sebisa mungkin hadirkan kenangan-kenangan lucu, konyol, dan menyenangkan. Kenangan-kenangan itu kemungkinan besar bisa membuat hatinya lunak. Tentu, jangan terburu-buru. Bagaimanapun, pasangan tengah diliputi emosi. Pelan-pelan sajalah, dan pasangan pun akhirnya akan menunjukkan keceriaannya kembali.

7. BERI MAAF
Kekesalan Anda karena sikap pasangan yang sedang tak mengenakkan bukan berarti lantas menutup pintu maaf. Berilah maaf dengan tulus, setiap kali pasangan membuat kesalahan atau setiap kali kesalahpahaman akibat ulahnya terjadi. Kalau perlu, jangan menunggu pasangan meminta maaf. Maafkan ia lebih dulu, meski dalam hati sekalipun. Cara ini merupakan langkah awal yang jitu untuk tetap mampu mempertahankan hubungan. Tentu, untuk menjadi pemaaf di saat disakiti butuh kebesaran hati dan cinta yang luar biasa. Namun, Anda akan merasakan kebahagian yang tak kalah luar biasanya bila pasangan akhirnya menyadari kekeliruannya.

8. INTROSPEKSI
Introspeksi dibutuhkan di setiap kesempatan. Jadi, pada saat terjadi kekecewaan atau kesalahpahaman, cobalah tanyakan pada diri sendiri, kenapa hal itu bisa terjadi. Gali kelemahan-kelemahan diri yang mungkin bisa menjadi pemicu kesalahpahaman itu. Dengan menggali kelemahan-kelemahan diri itu, Anda bisa menemukan jawban-jawaban yang mungkin bisa digunakan untuk mengurai dan menyelesaikan kesalahpahaman yang terjadi.

9. JALIN KOMUNIKASI
Namun, jangan berhenti semata dengan introspeksi. Yang juga harus Anda lakukan adalah meningkatkan rasa percaya dan cinta Anda pada pasangan. Salah satu caranya adalah dengan berkomunikasi. Tampaknya sepele, namun banyak pasangan yang ternyata gagal menjalin komunikasi yang baik, lho. Sediakan waktu khusus untuk berkomunikasi, apalagi jika Anda dan pasangan tengah memiliki masalah. Jadilah pendengar yang baik. Jangan cuma bisa berbicara namun tak mau mendengarkan apa yang diutarakan pasangan. Kalau ini yang Anda lakukan, pasangan bisa-bisa akan merasa tidak dihargai.
(sumber : NOVA)


Wanita Telat Nikah Lebih Gampang Menyakiti ?

Sikap tidak butuh menikah umumnya terjadi di kota-kota besar, di mana dunia kerja telah menyita hampir seluruh minat dan perhatian mereka. Banyak kesenangan yang dapat diperoleh melalui pekerjaan. Bukan saja penghasilan, melainkan juga kesenangan terhadap pekerjaan itu sendiri, dan berbagai peluang untuk mengembangkan diri.

Pekerjaan yang menarik semacam itu bisa di bidang entertainment yang menyita waktu, karier di organisasi pemerintah ataupun nonpemerintah yang menantang dan menyangkut hajat hidup masyarakat luas, maupun perusahaan swasta yang maju. Bila ini yang terjadi, perkawinan bukan lagi menjadi prioritas.
Sebagian lainnya menunda perkawinan karena ingin mapan secara ekonomi dan mental. Jadi, selama dua hal itu dirasa belum mapan, mereka belum mau bicara soal perkawinan.

Harapan Masyarakat
Bagaimana pandangan masyarakat yang heterogen ini? Orangtua umumnya menjadi gelisah bila anaknya yang telah memasuki masa dewasa belum menikah. Apa yang digambarkan dalam iklan, yakni ungkapan ”Kapan kawin?” tampak mewakili harapan orangtua terhadap orang muda yang sudah matang.

Sebagian masyarakat di kota-kota besar cukup maklum dengan keadaan orang muda yang lebih memilih karier daripada menikah. Terutama bila yang bersangkutan terlihat bahagia dengan keadaannya, orang-orang lain menjadi maklum.

Namun, di dalam masyarakat terdapat suatu norma, bahwa setiap orang yang telah memasuki masa dewasa selayaknya memiliki pasangan dan memasuki jenjang perkawinan. Norma ini berasal dari ajaran agama maupun budaya setempat.

Batas usia harapan menikah ini berbeda-beda, dan dapat berubah dari masa ke masa. Ada yang mematok 18 tahun, 25, 30, dan seterusnya. Harapan usia menikah untuk pria dan wanita biasanya berbeda, pria lebih tinggi daripada wanita.

Norma tentang usia perkawinan itu merupakan bagian dari tugas perkembangan. Dalam psikologi, tugas perkembangan individu dalam tiap-tiap rentang usia (bayi hingga lansia/dewasa akhir), telah digariskan. Khususnya mengenai perkawinan, ini merupakan bagian dari tugas perkembangan individu yang semestinya sudah dicapai pada masa dewasa awal (berkisar 21-35 tahun), sebelum masuk usia tengah baya.

Tugas perkembangan ini digariskan mengikuti potensi-potensi yang dalam keadaan normal berkembang terus sepanjang siklus kehidupan manusia. Potensi-potensi yang dipertimbangkan meliputi potensi fisik, psikis, dan sosial.

Dampak Pandangan Masyarakat
Meskipun sebagian orang muda bersikap masa bodoh terhadap perkawinan, tidak semua menyikapinya seperti itu. Entah karena nilai-nilai pribadi atau konformitas terhadap norma agama dan budaya, sebagian orang menjadi gelisah bila tenggat waktu yang ditargetkan untuk menikah belum kesampaian. Sesuai tugas perkembangan, biasanya kecemasan mulai muncul pada usia pertengahan dewasa awal (setelah 27 tahun).

Kegelisahan karena terlambat menikah lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini terjadi karena dua kemungkinan: 1) dorongan internal yang lebih kuat untuk hidup dalam harmoni bersama pasangan; 2) pandangan masyarakat yang cenderung lebih negatif terhadap wanita yang dianggap telat menikah.

Meski demikian, cukup banyak wanita yang harapannya untuk menikah belum terpenuhi, tidak membuat mereka rendah diri. Ini biasanya terjadi pada mereka yang sibuk dalam karier yang menyenangkan.

Lain halnya bila perasaan negatif berkembang tanpa adanya hal-hal yang mendukung rasa percaya diri (seperti karier, teman, keluarga), dapat menimbulkan pandangan negatif terhadap diri sendiri: perasaan kurang cantik, kurang menarik, dan sebagainya. Selanjutnya konsep diri negatif mengurangi rasa percaya diri dalam interaksi sosial.

Sebuah sumber menggambarkan wanita yang terlambat menikah bukan karena keinginannya sendiri, perasaan negatif terhadap diri sendiri akan mengurangi rasa percaya diri dalam bersosialisasi: menjadi serba kaku, malu, atau malah terlalu agresif.

Lebih lanjut sumber tersebut menyatakan: ”...Akibatnya cenderung merugikan pihak lain karena seringkali mereka melakukan hal-hal seperti menyalahkan, mempermalukan, menyerang (secara verbal atau fisik), marah-marah, menuntut, mengancam, sarkasme, menyindir, ataupun sengaja menyebarkan gosip.”

Hampir semua yang disebutkan di atas merupakan bentuk-bentuk perilaku agresi, yakni agresi fisik langsung (menyerang fisik), agresi fisik tidak langsung (mempermalukan), agresi verbal langsung (menyerang secara verbal atau menyakiti dengan kata-kata, termasuk sarkasme dan menyalahkan), agresi verbal tidak langsung (mengancam, menyebarkan gosip).

Cenderung Agresif?
Gambaran mengenai kecenderungan agresif (menyakiti orang lain) di atas jelas tidak dimaksudkan untuk menggambarkan semua wanita yang terlambat menikah. Bahkan, kemungkinan perkembangan semacam itu tampaknya sangat kecil.

Bila toh ada, itu pun perlu diteliti lebih lanjut, apakah kecenderungan agresif itu terbentuk karena keadaannya yang telat menikah ataukah justru sebaliknya, adanya kecenderungan agresif yang melekat sejak awal yang menyebabkan wanita itu menjadi sulit menemukan pasangan.

Tampaknya kemungkinan kedua justru lebih masuk akal, bahwa kecenderungan agresif pada wanita yang terlambat menikah bukanlah akibat dari keadaan terlambat menikah, melainkah justru merupakan penyebab kesulitannya menemukan pasangan. Mengapa?

Menemukan penjelasan bahwa telat menikah menyebabkan perilaku agresi, tidaklah mudah. Salah satu kemungkinannya adalah teori frustrasi-agresi, dengan asumsi bahwa terlambat menikah merupakan situasi frustrasi, sehingga menyebabkan perilaku agresi.
Namun, dalam situasi sekarang kecil kemungkinan seseorang menjadi frustrasi akibat terlambat menikah karena banyaknya alternatif yang dapat dilakukan, dan keluarga maupun masyarakat tidak sekeras dulu pandangannya tentang ”perawan tua”. Selain itu, telah diketahui pula bahwa frustrasi tidak selalu menyebabkan agresi.

Beberapa peneliti menyatakan agresivitas pada seseorang cenderung stabil (relatif tidak berubah). Mereka yang dikenal agresif pada masa kanak-kanak cenderung agresif pula pada masa remaja dan dewasa (Deaux dkk, 1993; Krahe, 2005), kecuali bila terdapat intervensi yang meredakan agresivitas tersebut.

Ini merupakan teori yang sesuai untuk menjelaskan bahwa kecenderungan agresi yang melekat sejak awal akan tetap melekat hingga dewasa, dan akibatnya pada wanita menjadi sulit menemukan pasangan. Jadi bukan karena terlambat menikah lalu agresif

(sumber : gaya hidup sehat online)

Follow this Blog

Komentar Mu

  ©Template by Dicas Blogger.

TOPO