Wanita Telat Nikah Lebih Gampang Menyakiti ?

Sikap tidak butuh menikah umumnya terjadi di kota-kota besar, di mana dunia kerja telah menyita hampir seluruh minat dan perhatian mereka. Banyak kesenangan yang dapat diperoleh melalui pekerjaan. Bukan saja penghasilan, melainkan juga kesenangan terhadap pekerjaan itu sendiri, dan berbagai peluang untuk mengembangkan diri.

Pekerjaan yang menarik semacam itu bisa di bidang entertainment yang menyita waktu, karier di organisasi pemerintah ataupun nonpemerintah yang menantang dan menyangkut hajat hidup masyarakat luas, maupun perusahaan swasta yang maju. Bila ini yang terjadi, perkawinan bukan lagi menjadi prioritas.
Sebagian lainnya menunda perkawinan karena ingin mapan secara ekonomi dan mental. Jadi, selama dua hal itu dirasa belum mapan, mereka belum mau bicara soal perkawinan.

Harapan Masyarakat
Bagaimana pandangan masyarakat yang heterogen ini? Orangtua umumnya menjadi gelisah bila anaknya yang telah memasuki masa dewasa belum menikah. Apa yang digambarkan dalam iklan, yakni ungkapan ”Kapan kawin?” tampak mewakili harapan orangtua terhadap orang muda yang sudah matang.

Sebagian masyarakat di kota-kota besar cukup maklum dengan keadaan orang muda yang lebih memilih karier daripada menikah. Terutama bila yang bersangkutan terlihat bahagia dengan keadaannya, orang-orang lain menjadi maklum.

Namun, di dalam masyarakat terdapat suatu norma, bahwa setiap orang yang telah memasuki masa dewasa selayaknya memiliki pasangan dan memasuki jenjang perkawinan. Norma ini berasal dari ajaran agama maupun budaya setempat.

Batas usia harapan menikah ini berbeda-beda, dan dapat berubah dari masa ke masa. Ada yang mematok 18 tahun, 25, 30, dan seterusnya. Harapan usia menikah untuk pria dan wanita biasanya berbeda, pria lebih tinggi daripada wanita.

Norma tentang usia perkawinan itu merupakan bagian dari tugas perkembangan. Dalam psikologi, tugas perkembangan individu dalam tiap-tiap rentang usia (bayi hingga lansia/dewasa akhir), telah digariskan. Khususnya mengenai perkawinan, ini merupakan bagian dari tugas perkembangan individu yang semestinya sudah dicapai pada masa dewasa awal (berkisar 21-35 tahun), sebelum masuk usia tengah baya.

Tugas perkembangan ini digariskan mengikuti potensi-potensi yang dalam keadaan normal berkembang terus sepanjang siklus kehidupan manusia. Potensi-potensi yang dipertimbangkan meliputi potensi fisik, psikis, dan sosial.

Dampak Pandangan Masyarakat
Meskipun sebagian orang muda bersikap masa bodoh terhadap perkawinan, tidak semua menyikapinya seperti itu. Entah karena nilai-nilai pribadi atau konformitas terhadap norma agama dan budaya, sebagian orang menjadi gelisah bila tenggat waktu yang ditargetkan untuk menikah belum kesampaian. Sesuai tugas perkembangan, biasanya kecemasan mulai muncul pada usia pertengahan dewasa awal (setelah 27 tahun).

Kegelisahan karena terlambat menikah lebih banyak terjadi pada wanita. Hal ini terjadi karena dua kemungkinan: 1) dorongan internal yang lebih kuat untuk hidup dalam harmoni bersama pasangan; 2) pandangan masyarakat yang cenderung lebih negatif terhadap wanita yang dianggap telat menikah.

Meski demikian, cukup banyak wanita yang harapannya untuk menikah belum terpenuhi, tidak membuat mereka rendah diri. Ini biasanya terjadi pada mereka yang sibuk dalam karier yang menyenangkan.

Lain halnya bila perasaan negatif berkembang tanpa adanya hal-hal yang mendukung rasa percaya diri (seperti karier, teman, keluarga), dapat menimbulkan pandangan negatif terhadap diri sendiri: perasaan kurang cantik, kurang menarik, dan sebagainya. Selanjutnya konsep diri negatif mengurangi rasa percaya diri dalam interaksi sosial.

Sebuah sumber menggambarkan wanita yang terlambat menikah bukan karena keinginannya sendiri, perasaan negatif terhadap diri sendiri akan mengurangi rasa percaya diri dalam bersosialisasi: menjadi serba kaku, malu, atau malah terlalu agresif.

Lebih lanjut sumber tersebut menyatakan: ”...Akibatnya cenderung merugikan pihak lain karena seringkali mereka melakukan hal-hal seperti menyalahkan, mempermalukan, menyerang (secara verbal atau fisik), marah-marah, menuntut, mengancam, sarkasme, menyindir, ataupun sengaja menyebarkan gosip.”

Hampir semua yang disebutkan di atas merupakan bentuk-bentuk perilaku agresi, yakni agresi fisik langsung (menyerang fisik), agresi fisik tidak langsung (mempermalukan), agresi verbal langsung (menyerang secara verbal atau menyakiti dengan kata-kata, termasuk sarkasme dan menyalahkan), agresi verbal tidak langsung (mengancam, menyebarkan gosip).

Cenderung Agresif?
Gambaran mengenai kecenderungan agresif (menyakiti orang lain) di atas jelas tidak dimaksudkan untuk menggambarkan semua wanita yang terlambat menikah. Bahkan, kemungkinan perkembangan semacam itu tampaknya sangat kecil.

Bila toh ada, itu pun perlu diteliti lebih lanjut, apakah kecenderungan agresif itu terbentuk karena keadaannya yang telat menikah ataukah justru sebaliknya, adanya kecenderungan agresif yang melekat sejak awal yang menyebabkan wanita itu menjadi sulit menemukan pasangan.

Tampaknya kemungkinan kedua justru lebih masuk akal, bahwa kecenderungan agresif pada wanita yang terlambat menikah bukanlah akibat dari keadaan terlambat menikah, melainkah justru merupakan penyebab kesulitannya menemukan pasangan. Mengapa?

Menemukan penjelasan bahwa telat menikah menyebabkan perilaku agresi, tidaklah mudah. Salah satu kemungkinannya adalah teori frustrasi-agresi, dengan asumsi bahwa terlambat menikah merupakan situasi frustrasi, sehingga menyebabkan perilaku agresi.
Namun, dalam situasi sekarang kecil kemungkinan seseorang menjadi frustrasi akibat terlambat menikah karena banyaknya alternatif yang dapat dilakukan, dan keluarga maupun masyarakat tidak sekeras dulu pandangannya tentang ”perawan tua”. Selain itu, telah diketahui pula bahwa frustrasi tidak selalu menyebabkan agresi.

Beberapa peneliti menyatakan agresivitas pada seseorang cenderung stabil (relatif tidak berubah). Mereka yang dikenal agresif pada masa kanak-kanak cenderung agresif pula pada masa remaja dan dewasa (Deaux dkk, 1993; Krahe, 2005), kecuali bila terdapat intervensi yang meredakan agresivitas tersebut.

Ini merupakan teori yang sesuai untuk menjelaskan bahwa kecenderungan agresi yang melekat sejak awal akan tetap melekat hingga dewasa, dan akibatnya pada wanita menjadi sulit menemukan pasangan. Jadi bukan karena terlambat menikah lalu agresif

(sumber : gaya hidup sehat online)

Follow this Blog

Komentar Mu

  ©Template by Dicas Blogger.

TOPO